Rabu, 07 Desember 2011

Teori Sastra


Sejarah Intelektual Islam di Nusantara (I) Sastra Melayu Abad Ke-14 – 19 M
Di antara cabang-cabang ilmu agama yang dikaji itu ialah (1) Dasar-dasar Ajaran Islam; (2) Hukum Islam; (3) Ilmu Kalam atau teologi; (4) Ilmu Tasawuf; (5) Ilmu Tafsir dan Hadis; (6) Aneka ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahu (tata bahasa Arab), astronomi, ilmu ketabiban, tarikh dan lain-lain.
Zaman Peralihan ( abad 14-16 M)
Taufik Abdullah (2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang.
a.Gelombang Pertama ( Zaman Awal dan Peralihan) adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M.
b.Dalam Gelombang Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700).
c.Dalam Gelombang Ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.
Di antara ciri-ciri karya zaman peralihan ialah:
1.Seperti halnya wacana keagamaan dan intelektual yang lain, karya sastra dianggap sebagai suluk, yaitu jalan keruhanian menuju Kebenaran Tertinggi.
2.Estetika penciptaan karya sastra didasarkan atas metafisika atau kosmologi Islam yang dikembangkan para sufi Arab dan Parsi abad ke-12 dan 14 M seperti Ibn `Arabi, Imam al-Ghazali, Jalaluddin al-Rumi dan Avbul Karim al-Jili.
3.Unsur budaya lokal dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem nilai Islam.
4.Tamsil-tamsil erotis (percintaan) mulai sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman cinta transcendental (ishq) yang dialami seorang salik (penempuh jalan ruhani) dalam perjalanan menuju Kekasihnya, Yang Satu.
Hikayat-hikayat atau karya-karya Arab Parsi yang disadur dan digubah kembali dalam bahasa Melayu dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.Hikayat Nabi-nabi;
2.Kisah-kisah berkenaan dengan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.
3.Kisah-kisah Para Sahabat Nabi;
4.Kisah Wali-wali Islam yang masyhur, termasuk sufi terkemuka, para pendiri tariqat    sufi dan lain sebagainya;
5.Hikayat Pahlawan-pahlwan Islam;
6.Hikayat tentang bangsawan Islam yang didasarkan pada fiksi Arab, Parsi dan Asia Tengah, umumnya berupa kisah petualangan bercampur percintaan;
7.Kisah-kisah Perumpamaan Sufi;
8.Cerita Berbingkai;
9.Kisah-kisah Jenaka.
Kesadaran Diri Baru
Pada masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya. Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderungan melahirkan renungan-renungan tasawuf dalam mempersoalkan hubungan manusia dengan Yang Abadi, dan perumusan sistem kekuasaan yang memunculkan kitab tentang teori kenegaraan (Taufik Abdullah 2002). Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra yang pemikirannya mewarnai dan menentukan perkembangan intelektual Islam pada masa sesudahnya.
Tokoh utama gejala pertama ialah Hamzah Fansuri, seorang sufi terkemuka, ahli agama, sastrawan besar dan pengembara. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus, dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17 M. Sejak akhir abad ke-16 M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya Ali Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya.
Ciri-ciri penting ssyair-syair Hamzah Fansuri ialah:
Pertama, pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, `asyiq dan lain-lain.
Kedua, banyak petikan ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab dan Parsi.
Ketiga, dalam setiap bait terakhir ikat-ikatan syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau kota di mana dia dibesarkan.
Keempat, penggunaan tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan penyair-penyair sufi Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasan kesufian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain.
Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang disertai dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.

perkembangn sastra melayu islam dibgi mjd 4 periode:
1.zaman awal, abad 14-15 M
ditndai dg munculnya terjmhn n saduran karya-karya arab n Persia ke bhs melayu.
2.zaman peralihan, dr akhir abad ke 15 hingga pertnghn abad ke-16
ditandai dg usaha melayunisasi hikayat2 arab n Persia, pengislaman kisah2 warisan zaman hindu, n penulisan epos local serta historiografi.
3.zaman klasik, akhir abad ke-16 hingga awal abad ke 18
ditandai dg kesadaran pengarang melayu utk membubuhkan nama diri dlm karangannya.
4.zaman akhir, dr pertnghn abad ke 18 hingga awal abad ke 20
krya2 keislaman ditulis di berbagai pusat kebudayaab islam baru di kep. Melayu. zaman ini melahirkan penulis2 kitab keagamaan n historiografi terkemuka.

sistem jenis sastra melayu klasik
1.lingkup estetika
ada 3 aspek keindhn sastra melyu klasik:
a. aspek ontologism
b. aspek imanen
c. aspek psikologis/pragmatic
cth hikayat hang tuah, hikayat indraputra

2.lingkup faedah (didaktis)
a.hikayat berbingkai
b.historiografi
3.lingkup kesempurnaan rohani
a.sastra kitab
b.hikyat hagiografi
c.kisah n riwayat Nabi Muhammad
d.risalah tasawuf yg lazim dimasukkan dlm sastra kitab
e.hikayat perumpamaan/alegori sufi
f.ratib atau agiografi sufi
Penulis aceh dan estetika islam dari sastra melayu ke sastra Indonesia
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan apabila kita membicarakan perkembangan sastra di Aceh sejak zaman klasik sastra Melayu Aceh hingga kini.
Pertama,  di daerah ini bahasa yang digunakan dalam penulisan sastra lebih dari satu. Yang paling menonjol digunakan sebagai media penulisan kreatif ialah bahasa Melayu Pasai, kemudian bahasa Aceh, Gayo, Alas, dan Melayu Singkil.
Kedua, kegiatan penulisan sastra di Aceh terkait erat dengan perkembangan agama Islam.
Sastra Melayu dan Islam
Kegiatan awal penulisan sastra di Pasai dimulai dengan penerjemahan dan penyaduran teks-teks sastra Arab dan Persia ke dalam bahasa Melayu.
Sastra Melayu mulai mengalami masa puncak perkembangannya di Aceh pada paruh ketiga abad ke-16 M di tangan penulis yang juga ahli tasawuf seperti Hamzah Fansuri, Bukhari al-Jauhari, dan murid-murid mereka yang tinggal di Aceh dan pusat-pusat pendidikan Islam lain seperti Barus, Singkil, dan lain-lain. Para sarjana menyebut periode ini sebagai zaman klasik kesusastraan Melayu. Braginsky (1993) malah menyebutnya sebagai zaman ‘kesadaran diri’, dalam arti bahwa penulis-penulis Melayu Aceh telah menemukan jatidirinya secara estetik dan literer.

Tiga tempat utama yang menjadi pusat kegiatan penulisan ialah istana, pesantren dan pasar.
1.Istana sebagai pusat kekuasaan politik melahirkan banyak karya bercorak sejarah, epos, dan roman yang tokoh-tokohnya adalah seorang pangeran atau keturunan raja.
2.Di pesantren ditulis karya-karya yang kental nafas keagamaannya, termasuk syiar-syair tasawuf dan alegori sufi, hikayat para nabi, wali, dan kisah-kisah teladan lain yang tokoh-tokohnya tidak mesti keturunan bangsawan.
3.di pasar, yaitu tempat pemukiman para saudagar dan orang kaya, selain ditulis pula karya-karya keagamaan dan epos, juga ditulis karya-karya yang termasuk pelipur lara seperti Hikayat Seribu Satu Malam, Hikayat Bayan Budiman, dan lain-lain.

Adapun mengenai penulis-penulis yang telah disebutkan itu merupakan pelopor dalam genre-genre yang digeluti. Hamzah Fansuri menciptakan bentuk puisi baru dalam kesusastraan Melayu yang disebut ‘syair’, sajak empat baris dengan pola bunyi akhir AAAA pada setiap barisnya. Syair-syairnya itu merupakan puisi-puisi sufistik yang orisinal dan mendalam, yang belum pernah dilahirkan sebelumnya dalam kesusastraan Melayu.
Penulis lain seperti Bukhari al-Jauhari, dengan karyanya Taj al-Salatin, adalah pelopor penulisan karya bercorak adab. Syamsudin Sumatrani mempelopori tradisi kritik sastra melalui pembahasannya atas syair-syair Hamzah Fansuri (Syuarah Ruba`i Hamzah Fansuri). Dalam pembahasannya itu dia menggunakan metode hermeneutika Islam yang disebut ta’wil. Nuruddin Raniri mempelopori penulisan karya bercorak sejarah dan adab, melalui karya agungnya Bustan al-Salatin. Dalam karangan Bukhari Jauhari dan Nuruddin Raniri yang bercorak adab dan sejarah itu terdapat banyak kisah-kisah yang diselipkan sebagai cara mendedahkan hikmah yang bisa diambil dari peristiwa-peristiwa sejarah.

Estetika dan Genre
Teori-teori mereka dipelajari melalui pengajaran kesusastraan Arab dan Persia, yang menjadi mata kuliah utama di lembaga pendidikan tinggi Islam kala itu di Aceh. Yang pertama, estetika sufi mempengaruhi terutama penulisan karya yang bercorak sufistik seperti syair-syair tasawuf dan alegori sufi, di samping ragam sastra lain seperti epos (hikayat kepahlawanan) dan roman (kisah petualangan campur percintaan). Sedangkan yang kedua, estetika para filosof yang memadukan pandangan Plato dan Aristoleles, terutama mempengaruhi karangan-karangan bercorak adab, epos, sejarah, dan roman-roman pelipur lara.
karya sastra pertama-tama sebagai representasi simbolik dari gagasan dan pengalaman batin. Bagi mereka karya sastra berperan terutama sebagai sarana trasendensi dan penyucian kalbu, sebagai suluk atau kendaraan jiwa dalam melakukan pendakian menuju kebenaran tertinggi.
Imaji-imaji simbolik (tamtsil) dan metafora (isti`ara) dalam karya sastra memang diambil dari kenyataan di alam lahir, akan tetapi fungsinya untuk menggambarkan pengalaman batin dan gagasan kerohanian pengarangnya.

Sastra Melayu Bercorak Parsi
Pengaruh Persia masuk ke Nusantara lewat dua jalan, yakni: (a) lewat India yang sudah mendapat pengaruh Persia, dan (b) langsung dari Persia.
Dari segi isi, pengaruh Persia yang terdapat di dalam karya-karya sastra Melayu klasik dapat dikelompokkan menjadi 5 golongan, yakni:
1)roman India-Persia;
Roman India-Persia artinya karya sastra yang berbentuk hikayat dan mendapat pengaruh dari India dan Persia secara bersama-sama. Contoh: Hikayat Berma Syahdan, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Bayan Budiman.
2)roman Islam-Persia
Roman Islam-Persia adalah karya sastra Melayu yang berbentuk hikayat dan isinya mendapat pengaruh Islam-Persia, misalnya: Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, dan Hikayat Muhammad Hanafiah.
3)buku-buku yang berisi peraturan atau cara memerintah raja;
Hikayat atau cerita yang berisi peraturan-peraturan dalam pemerintahan yang ditujukan kepada para penguasa/raja ada dua, yakni Tajussalatin dan Bustanussalatin.
Tajussalatin (Mahkota Segala Raja) disusun atau diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu kira-kira tahun 1603 oleh Bukhari Al Jauhari (tukang emas dari Bukhara) atau Bukhari Al Johori (Bukhara dari Johor).
Bustanussalatin (Taman Raja-Raja) ditulis oleh Nuruddin Arraniri. Nuruddin Arraniri adalah seorang penulis Aceh yang berasal dari Ranir, Gujarat (India).
4)karya sastra yang berisi sejarah; dan
Di antara karya sastra Melayu yang berisi sejarah bangsa Melayu yang mendapat pengaruh Persia adalah Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu.
5)karya sastra berisi keagamaan.
(misalnya: karya-karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Arraniri, dan Abdul Rauf Assingkeli).

Sastra melayu bercorak tasawuf Pengelompokan dan estetikanya
Tasawuf adalah cabang ilmu-ilmu islam yang membicarakan kodrat tuhan dan kodrat manusia, serta kebajikan-kebajikan ruhani yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan hubungan yang karib dan mesra antara manusia dan tuhan. Kebajikan-kebajikan ruhani itu dijelaskan melalui konsep maqamat atau peringkat-peringkat ruhani dan ahwal atau keadaan-keadaan ruhani yang dialami seorang ahli suluk dalam menempuh jalan tasawuf (nasr 1980:22).
Kaidah pelaksanaannya sering disebut jalan cinta (`isyq) dan makrifat (ma`rifa). Tujuannya ialah mencapai makna terdalam tauhid melalui musyahadah yang buahnya adalah kasyf, yaitu tersingkapnya hijab yang membuat penglihatan batin terang (al-taftazani 1983:110-1).
Ciri khas karya bercorak tasawuf ialah kecenderungannya yang tidak semata-mata mengandalkan pada keindahan lahir, yaitu gaya dan corak pengungkapannya. Yang lebih ditekankan ialah keindahan dalaman yang berkaitan dengan kesempurnaan ruhani, sedangkan ungkapan-ungkapan estetik di dalamnya hanya sarana yang berfungsi bagi pembaca untuk naik menuju kesadaran yang lebih tinggi.
Karya-karya melayu bercorak tasawuf dapat dikelompokkan setidak-tidaknya ke dalam delapan kelompok, seperti berikut:
1.Syair makrifat.
Biasanya campuran lirik dan sajak didaktis, dan cenderung naratif. Yang terkenal ialah ikat-ikatan syair hamzah fansuri (abad ke-16 m), seperti “syair burung pingai”, “syair sidang faqir”.
2.Syair pujian kepada nabi muhamad s.a.w..
Syair jenis ini terutama diilhami oleh qasida al-burdah, syaraf al-anam dan qasida al-barzanji.
3.Ratib atau agiografi sufi.
Dalam bentuk prosa berirama, yang terkenal di antaranya ialah ratib syekh saman, ratib syekh abdul qadir jailani, sedangkan yang dalam bentuk prosa ialah hikayat luqman al-hakim, hikayat rabi`ah al-adawiyah.
4.Alegori sufi atau kisah perumpamaan sufi.
Dalam sastra melayu hikayat yang digubah menjadi alegori sufi antara lain ialah hikayat inderaputra, hikayat syah mardan,
5.Risalah tasawuf yang lazim dimasukkan ke dalam kelompok sastra kitab.
Hamzah fansuri (syarab al-`asyiqin, asrar al`arifin dan al-muntahi); syamsudin pasai (mir`at al-mu`minin, mir`at al-iman, zikarat al-dairati qaba qawsaini aw `adna, mir`at al-muhaqqiqin dan lain-lain);
6.Karangan-karangan prosa berisi aneka corak pandangan sufi mengenai berbagai persoalan seperti metafisika, penciptaan alam semesta, sejarah, adab, eskatologi, hermeneutika, psikologi, dan lain-lain.
Termasuk di dalamnya ialah hikayat kejadian nur muhammad, kitab seribu masalah, syarah ruba`i hamzah fansuri (syamsuddin al-sumatrani), taj al-salatin (bukhari al-jauhari), bustan al-salatin (nuruddin al-raniri), risalah turunnya imam mahdi (arsyad al-banjari), dan lain-lain.
Alegori sufi dan estetikanya
Sudah sejak awal sastrawan-sastrawan sufi, khususnya di persia, gemar mentransformasikan tamsil-tamsil percintaan yang terdapat dalam sastra arab menjadi tamsil-tamsil kesufian.

Taj al-Salatin
Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1603 di Aceh Darussalam dan merupakan satu-satunya karangan Bukhari al-Jauhari yang dijumpai sampai saat ini. Ketika itu kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Alauddin Ri`aayat Syah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Sebagai karya sastra kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, politik dan pemerintahan.
Di antara kitab-kitab yang dijadikan bahan rujukan ialah (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah (Kitab Politik) karangan Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M; (2) Asrar-namah (Kitab Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin `Attar (1188); (3) Akhlaq al-Muhsini karya Husain Wa`iz Kasyifi (1494); (4) Kisah-kisah Arab dan Persia seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin, Yusuf dan Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab Jami’ al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia) yang ditulis untuk Sultan Mughal di Delhi yaitu Humayun (1535-1556); dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar