Sejarah Intelektual
Islam di Nusantara (I) Sastra
Melayu Abad Ke-14 – 19 M
Di antara
cabang-cabang ilmu agama yang dikaji itu ialah (1) Dasar-dasar Ajaran Islam;
(2) Hukum Islam; (3) Ilmu Kalam atau teologi; (4) Ilmu Tasawuf; (5) Ilmu Tafsir
dan Hadis; (6) Aneka ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama
Islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahu (tata bahasa Arab), astronomi,
ilmu ketabiban, tarikh dan lain-lain.
Zaman
Peralihan ( abad 14-16 M)
Taufik Abdullah
(2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara dari abad ke-13 hingga
pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang.
a.Gelombang Pertama ( Zaman Awal dan Peralihan) adalah gelombang
diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang
menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi
kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan
Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M.
b.Dalam Gelombang Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas
secara besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami
realitas. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka
(1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700).
c.Dalam Gelombang Ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara
mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini
‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang
inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad
ke-18 – 19 M.
Di antara
ciri-ciri karya zaman peralihan ialah:
1.Seperti
halnya wacana keagamaan dan intelektual yang lain, karya sastra dianggap
sebagai suluk, yaitu jalan keruhanian menuju Kebenaran Tertinggi.
2.Estetika
penciptaan karya sastra didasarkan atas metafisika atau kosmologi Islam yang
dikembangkan para sufi Arab dan Parsi abad ke-12 dan 14 M seperti Ibn `Arabi,
Imam al-Ghazali, Jalaluddin al-Rumi dan Avbul Karim al-Jili.
3.Unsur
budaya lokal dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem nilai Islam.
4.Tamsil-tamsil
erotis (percintaan) mulai sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman cinta
transcendental (ishq) yang dialami seorang salik (penempuh
jalan ruhani) dalam perjalanan menuju Kekasihnya, Yang Satu.
Hikayat-hikayat atau karya-karya Arab Parsi yang disadur
dan digubah kembali dalam bahasa Melayu dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.Hikayat
Nabi-nabi;
2.Kisah-kisah
berkenaan dengan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.
3.Kisah-kisah
Para Sahabat Nabi;
4.Kisah
Wali-wali Islam yang masyhur, termasuk sufi terkemuka, para pendiri
tariqat sufi dan lain sebagainya;
5.Hikayat
Pahlawan-pahlwan Islam;
6.Hikayat
tentang bangsawan Islam yang didasarkan pada fiksi Arab, Parsi dan Asia Tengah,
umumnya berupa kisah petualangan bercampur percintaan;
7.Kisah-kisah
Perumpamaan Sufi;
8.Cerita
Berbingkai;
9.Kisah-kisah
Jenaka.
Kesadaran Diri
Baru
Pada
masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam
dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam
hampir seluruh aspeknya. Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada
masa ini, yaitu kecenderungan melahirkan renungan-renungan tasawuf dalam
mempersoalkan hubungan manusia dengan Yang Abadi, dan perumusan sistem
kekuasaan yang memunculkan kitab tentang teori kenegaraan (Taufik Abdullah
2002). Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra
yang pemikirannya mewarnai dan menentukan perkembangan intelektual Islam pada
masa sesudahnya.
Tokoh
utama gejala pertama ialah Hamzah Fansuri, seorang sufi terkemuka, ahli agama,
sastrawan besar dan pengembara. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus, dan
diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17 M. Sejak akhir abad
ke-16 M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke kerajaan Aceh Darussalam.
Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya Ali Fansuri, dia mendirikan
sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari
tempat kelahirannya.
Ciri-ciri penting ssyair-syair Hamzah
Fansuri ialah:
Pertama, pemakaian
penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, `asyiq dan
lain-lain.
Kedua, banyak petikan
ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya
telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis
sufi Arab dan Parsi.
Ketiga, dalam setiap
bait terakhir ikat-ikatan syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya,
yaitu nama julukannya yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran
penyair atau kota di mana dia dibesarkan.
Keempat, penggunaan
tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan
penyair-penyair sufi Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasan
kesufian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat,
tatanan wujud dan lain-lain.
Kelima, karena paduan
yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya,
syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam
pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi
melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang
disertai dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.
perkembangn
sastra melayu islam dibgi mjd 4 periode:
1.zaman awal, abad 14-15 M
ditndai dg munculnya terjmhn n saduran
karya-karya arab n Persia ke bhs melayu.
2.zaman peralihan, dr akhir abad ke 15
hingga pertnghn abad ke-16
ditandai dg usaha melayunisasi hikayat2
arab n Persia, pengislaman kisah2 warisan zaman hindu, n penulisan epos local
serta historiografi.
3.zaman klasik, akhir abad ke-16 hingga
awal abad ke 18
ditandai dg kesadaran pengarang melayu
utk membubuhkan nama diri dlm karangannya.
4.zaman akhir, dr pertnghn abad ke 18
hingga awal abad ke 20
krya2 keislaman ditulis di berbagai
pusat kebudayaab islam baru di kep. Melayu. zaman ini melahirkan penulis2 kitab
keagamaan n historiografi terkemuka.
sistem jenis
sastra melayu klasik
1.lingkup
estetika
ada
3 aspek keindhn sastra melyu klasik:
a.
aspek ontologism
b.
aspek imanen
c.
aspek psikologis/pragmatic
cth
hikayat hang tuah, hikayat indraputra
2.lingkup
faedah (didaktis)
a.hikayat
berbingkai
b.historiografi
3.lingkup
kesempurnaan rohani
a.sastra
kitab
b.hikyat
hagiografi
c.kisah
n riwayat Nabi Muhammad
d.risalah
tasawuf yg lazim dimasukkan dlm sastra kitab
e.hikayat
perumpamaan/alegori sufi
f.ratib
atau agiografi sufi
Penulis aceh dan estetika islam dari sastra melayu
ke sastra Indonesia
Ada beberapa hal
yang harus diperhatikan apabila kita membicarakan perkembangan sastra di Aceh
sejak zaman klasik sastra Melayu Aceh hingga kini.
Pertama, di daerah ini bahasa yang digunakan dalam
penulisan sastra lebih dari satu. Yang paling menonjol digunakan sebagai media
penulisan kreatif ialah bahasa Melayu Pasai, kemudian bahasa Aceh, Gayo, Alas,
dan Melayu Singkil.
Kedua, kegiatan
penulisan sastra di Aceh terkait erat dengan perkembangan agama Islam.
Sastra Melayu dan Islam
Kegiatan awal
penulisan sastra di Pasai dimulai dengan penerjemahan dan penyaduran teks-teks
sastra Arab dan Persia ke dalam bahasa Melayu.
Sastra Melayu
mulai mengalami masa puncak perkembangannya di Aceh pada paruh ketiga abad
ke-16 M di tangan penulis yang juga ahli tasawuf seperti Hamzah Fansuri,
Bukhari al-Jauhari, dan murid-murid mereka yang tinggal di Aceh dan pusat-pusat
pendidikan Islam lain seperti Barus, Singkil, dan lain-lain. Para sarjana
menyebut periode ini sebagai zaman klasik kesusastraan Melayu. Braginsky (1993)
malah menyebutnya sebagai zaman ‘kesadaran diri’, dalam arti bahwa
penulis-penulis Melayu Aceh telah menemukan jatidirinya secara estetik dan
literer.
Tiga tempat
utama yang menjadi pusat kegiatan penulisan ialah istana, pesantren dan pasar.
1.Istana sebagai
pusat kekuasaan politik melahirkan banyak karya bercorak sejarah, epos, dan
roman yang tokoh-tokohnya adalah seorang pangeran atau keturunan raja.
2.Di pesantren
ditulis karya-karya yang kental nafas keagamaannya, termasuk syiar-syair
tasawuf dan alegori sufi, hikayat para nabi, wali, dan kisah-kisah teladan lain
yang tokoh-tokohnya tidak mesti keturunan bangsawan.
3.di pasar,
yaitu tempat pemukiman para saudagar dan orang kaya, selain ditulis pula
karya-karya keagamaan dan epos, juga ditulis karya-karya yang termasuk pelipur
lara seperti Hikayat Seribu Satu Malam, Hikayat Bayan Budiman, dan lain-lain.
Adapun mengenai
penulis-penulis yang telah disebutkan itu merupakan pelopor dalam genre-genre
yang digeluti. Hamzah Fansuri menciptakan bentuk puisi baru dalam kesusastraan
Melayu yang disebut ‘syair’, sajak empat baris dengan pola bunyi akhir AAAA
pada setiap barisnya. Syair-syairnya itu merupakan puisi-puisi sufistik yang orisinal
dan mendalam, yang belum pernah dilahirkan sebelumnya dalam kesusastraan
Melayu.
Penulis lain
seperti Bukhari al-Jauhari, dengan karyanya Taj al-Salatin, adalah pelopor
penulisan karya bercorak adab. Syamsudin Sumatrani mempelopori tradisi kritik sastra
melalui pembahasannya atas syair-syair Hamzah Fansuri (Syuarah Ruba`i Hamzah
Fansuri). Dalam pembahasannya itu dia menggunakan metode hermeneutika Islam
yang disebut ta’wil. Nuruddin Raniri mempelopori penulisan karya bercorak
sejarah dan adab, melalui karya agungnya Bustan al-Salatin. Dalam karangan
Bukhari Jauhari dan Nuruddin Raniri yang bercorak adab dan sejarah itu terdapat
banyak kisah-kisah yang diselipkan sebagai cara mendedahkan hikmah yang bisa
diambil dari peristiwa-peristiwa sejarah.
Estetika dan Genre
Teori-teori
mereka dipelajari melalui pengajaran kesusastraan Arab dan Persia, yang menjadi
mata kuliah utama di lembaga pendidikan tinggi Islam kala itu di Aceh. Yang
pertama, estetika sufi mempengaruhi terutama penulisan karya yang bercorak
sufistik seperti syair-syair tasawuf dan alegori sufi, di samping ragam sastra
lain seperti epos (hikayat kepahlawanan) dan roman (kisah petualangan campur
percintaan). Sedangkan yang kedua, estetika para filosof yang memadukan
pandangan Plato dan Aristoleles, terutama mempengaruhi karangan-karangan
bercorak adab, epos, sejarah, dan roman-roman pelipur lara.
karya sastra
pertama-tama sebagai representasi simbolik dari gagasan dan pengalaman batin.
Bagi mereka karya sastra berperan terutama sebagai sarana trasendensi dan
penyucian kalbu, sebagai suluk atau kendaraan jiwa dalam melakukan pendakian
menuju kebenaran tertinggi.
Imaji-imaji
simbolik (tamtsil) dan metafora (isti`ara) dalam karya sastra memang diambil
dari kenyataan di alam lahir, akan tetapi fungsinya untuk menggambarkan
pengalaman batin dan gagasan kerohanian pengarangnya.
Sastra Melayu Bercorak Parsi
Pengaruh Persia
masuk ke Nusantara lewat dua jalan, yakni: (a) lewat India yang sudah mendapat
pengaruh Persia, dan (b) langsung dari Persia.
Dari segi isi,
pengaruh Persia yang terdapat di dalam karya-karya sastra Melayu klasik dapat
dikelompokkan menjadi 5 golongan, yakni:
1)roman India-Persia;
Roman India-Persia artinya karya sastra
yang berbentuk hikayat dan mendapat pengaruh dari India dan Persia secara
bersama-sama. Contoh: Hikayat Berma Syahdan, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat
Bayan Budiman.
2)roman Islam-Persia
Roman Islam-Persia adalah karya sastra
Melayu yang berbentuk hikayat dan isinya mendapat pengaruh Islam-Persia,
misalnya: Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, dan Hikayat
Muhammad Hanafiah.
3)buku-buku yang berisi peraturan atau
cara memerintah raja;
Hikayat atau cerita yang berisi
peraturan-peraturan dalam pemerintahan yang ditujukan kepada para penguasa/raja
ada dua, yakni Tajussalatin dan Bustanussalatin.
Tajussalatin (Mahkota Segala Raja)
disusun atau diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu kira-kira tahun 1603 oleh
Bukhari Al Jauhari (tukang emas dari Bukhara) atau Bukhari Al Johori (Bukhara
dari Johor).
Bustanussalatin (Taman Raja-Raja)
ditulis oleh Nuruddin Arraniri. Nuruddin Arraniri adalah seorang penulis Aceh
yang berasal dari Ranir, Gujarat (India).
4)karya sastra yang berisi sejarah; dan
Di antara karya sastra Melayu yang
berisi sejarah bangsa Melayu yang mendapat pengaruh Persia adalah Hikayat
Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu.
5)karya sastra berisi keagamaan.
(misalnya: karya-karya Hamzah Fansuri,
Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Arraniri, dan Abdul Rauf Assingkeli).
Sastra melayu bercorak tasawuf Pengelompokan dan
estetikanya
Tasawuf adalah cabang ilmu-ilmu islam yang
membicarakan kodrat tuhan dan kodrat manusia, serta kebajikan-kebajikan ruhani
yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan hubungan yang karib dan mesra antara
manusia dan tuhan. Kebajikan-kebajikan ruhani itu dijelaskan melalui konsep
maqamat atau peringkat-peringkat ruhani dan ahwal atau keadaan-keadaan ruhani
yang dialami seorang ahli suluk dalam menempuh jalan tasawuf (nasr 1980:22).
Kaidah
pelaksanaannya sering disebut jalan cinta (`isyq) dan makrifat (ma`rifa).
Tujuannya ialah mencapai makna terdalam tauhid melalui musyahadah yang buahnya
adalah kasyf, yaitu tersingkapnya hijab yang membuat penglihatan batin terang
(al-taftazani 1983:110-1).
Ciri khas karya
bercorak tasawuf ialah kecenderungannya yang tidak semata-mata mengandalkan
pada keindahan lahir, yaitu gaya dan corak pengungkapannya. Yang lebih
ditekankan ialah keindahan dalaman yang berkaitan dengan kesempurnaan ruhani,
sedangkan ungkapan-ungkapan estetik di dalamnya hanya sarana yang berfungsi bagi
pembaca untuk naik menuju kesadaran yang lebih tinggi.
Karya-karya
melayu bercorak tasawuf dapat dikelompokkan setidak-tidaknya ke dalam delapan
kelompok, seperti berikut:
1.Syair
makrifat.
Biasanya
campuran lirik dan sajak didaktis, dan cenderung naratif. Yang terkenal ialah
ikat-ikatan syair hamzah fansuri (abad ke-16 m), seperti “syair burung pingai”,
“syair sidang faqir”.
2.Syair pujian
kepada nabi muhamad s.a.w..
Syair jenis ini
terutama diilhami oleh qasida al-burdah, syaraf al-anam dan qasida al-barzanji.
3.Ratib atau
agiografi sufi.
Dalam bentuk
prosa berirama, yang terkenal di antaranya ialah ratib syekh saman, ratib syekh
abdul qadir jailani, sedangkan yang dalam bentuk prosa ialah hikayat luqman
al-hakim, hikayat rabi`ah al-adawiyah.
4.Alegori sufi
atau kisah perumpamaan sufi.
Dalam sastra
melayu hikayat yang digubah menjadi alegori sufi antara lain ialah hikayat
inderaputra, hikayat syah mardan,
5.Risalah
tasawuf yang lazim dimasukkan ke dalam kelompok sastra kitab.
Hamzah fansuri (syarab
al-`asyiqin, asrar al`arifin dan al-muntahi); syamsudin pasai (mir`at
al-mu`minin, mir`at al-iman, zikarat al-dairati qaba qawsaini aw `adna, mir`at
al-muhaqqiqin dan lain-lain);
6.Karangan-karangan
prosa berisi aneka corak pandangan sufi mengenai berbagai persoalan seperti
metafisika, penciptaan alam semesta, sejarah, adab, eskatologi, hermeneutika,
psikologi, dan lain-lain.
Termasuk di
dalamnya ialah hikayat kejadian nur muhammad, kitab seribu masalah, syarah
ruba`i hamzah fansuri (syamsuddin al-sumatrani), taj al-salatin (bukhari
al-jauhari), bustan al-salatin (nuruddin al-raniri), risalah turunnya imam
mahdi (arsyad al-banjari), dan lain-lain.
Alegori sufi dan estetikanya
Sudah sejak awal
sastrawan-sastrawan sufi, khususnya di persia, gemar mentransformasikan
tamsil-tamsil percintaan yang terdapat dalam sastra arab menjadi tamsil-tamsil
kesufian.
Taj al-Salatin
Kitab ini
selesai ditulis pada tahun 1603 di Aceh Darussalam dan merupakan satu-satunya
karangan Bukhari al-Jauhari yang dijumpai sampai saat ini. Ketika itu
kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Alauddin Ri`aayat
Syah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda
(1607-1636 M). Sebagai karya sastra kitab ini digolongkan ke dalam buku adab,
yaitu buku yang membicarakan masalah etika, politik dan pemerintahan.
Di antara
kitab-kitab yang dijadikan bahan rujukan ialah (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah
(Kitab Politik) karangan Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M;
(2) Asrar-namah (Kitab Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin `Attar
(1188); (3) Akhlaq al-Muhsini karya Husain Wa`iz Kasyifi (1494); (4)
Kisah-kisah Arab dan Persia seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin,
Yusuf dan Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab Jami’
al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia) yang ditulis untuk Sultan Mughal di
Delhi yaitu Humayun (1535-1556); dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar