BAHASA INDONESIA: KONSTRUKSI
SINTAKSIS DAN APLIKASINYA
DALAM PENDIDIKAN
KARAKTER
Oleh
Muliani Rahmah
Abstrak
Makalah ini berisi tentang konstruksi sintaksis dan
aplikasinya dalam pendidikan karakter. Di sini akan dibahas tentang pentingnya
mengaplikasikan pelajaran bahasa termasuk sintaksis untuk membentuk karakter
peserta didik pada zaman globalisasi saat ini, mengingat sekarang anak bangsa
sedang krisis moral. Sebagai guru seharusnya lebih bisa seleksi dalam mengajar
dan juga memperhatikan tutur kata yang baik agar bisa menjadi teladan bagi
peserta didiknya.
A. Konstruksi
Sintaksis
Sintaksis
secara langsung dari bahasa Belanda syntaxis, yang kemudian dalam bahasa
inggris menggunakan istilah sintax. Dengan kata lain sintaksis adalah bagian
atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat,
klausa, dan frasa (M. Ramlan dengan bukunya Ilmu bahasa Indonesia Sintaksis). Sintaksis
adalah salah satu cabang dari tata bahasa, dan tata bahasa itu merupakan salah
satu cabang dari linguistik. Tata bahasa terdiri dari morfologi dan sintaksis.
Sintaksis adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari seluk beluk
struktur kalimat. Sintaksis mempelajari tata hubungan kata dengan kata lain
dalam membentuk struktur yang lebih besar, yaitu frasa, klausa dan kalimat.
Istilah
kontruksi menunjuk suatu konsep satuan bahasa yang bermakna. Dengan kata lain,
konstruksi sintaksis adalah satuan bahasa bermakna berupa frasa, klausa, dan
kalimat. Unsur terkecil konstruksi sintaksis adalah bentuk bebas atau kata.
Konstruksi sintaksis memiliki ciri (1) anggotanya berupa bentuk bebas, (2)
hubungan antara unsurnya dapat disisipi bentuk kata lain, (3) struktur unsurnya
biasanya tidak tetap, (4) bentuknya berupa frasa, klausa, dan kalimat.
1. Frasa
Frasa
adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih dan hanya
menduduki salah satu fungsi unsur klausa yaitu subjek (S), predikat (P), objek
(O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket).
Dari
pengertian di atas jelaslah bahwa frasa memiliki sifat sebagai berikut. (1) Frasa
merupakan satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak
memiliki unsur klausa atau predikatif. (2) Frasa merupakan satuan gramatif yang
terdiri atas dua kata atau lebih dan hanya menduduki satu fungsi dalam klausa,
yaitu fungsi subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), dan
keterangan (Ket).
Frasa
dapat diklasifikasi berdasarkan unsur-unsur yang membentuk frasa, berdasarkan
persamaan distribusinya dengan salah satu atau kedua unsurnya dan berdasarkan
sifat hubungan internalnya. Kategori frasa adalah golongan frasa dilihat dari
persamaan distribusinya dengan kategori (jenis, kelas, atau golongan) kata.
Berdasarkan kategorinya frasa dapat digolongkan menjadi beberapa golongan: (1)
frasa nominal, (2) frasa verbal, (3) frasa adjektival, (4) frasa numeralia, dan
(5) frasa preposisional.
2. Klausa
Klausa
dapat dikatakan sebagai bagian inti kalimat atau dapat juga dikatakan sebagi
pembentuk kalimat. Secara fungsional unsur inti klausa adalah subjek (S) dan
predikat (P) unsur lain seperti objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket)
boleh ada dalam klausa boleh juga tidak ada. unsur fungsional yang cenderung
selalu dalam klausa adalah predikat (P). Perbedaan klausa dan kalimat dalam hal
intonasi akhir atau tanda baca yang menjadi ciri kalimat sedangkan klausa tidak
ada. Baik kalimat ataupun klausa merupakan konstruksi sintaksis yang mengandung
unsur predikasinya. Dilihat dari segi internalnya, kalimat dan klausa keduanya
terdiri atas unsur predikat dan subjek dengan atau tanpa objek, pelengkap atau
keterangan.
3. Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud
lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras
lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang dikuti oleh
kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan ataupun asimilasi bunyi ataupun
proses fonologis lainnya.
Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru
(!); dan di dalamnya dapat disertakan tanda baca seperti koma (,), titik dua
(:), pisah (-), dan spasi. Tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru pada wujud
tulisan sepadan dengan intonasi akhir pada wujud lisan sedangkan spasi yang
mengikuti mereka melambangkan kesenyapan. Tanda baca sepadan dengan jeda.
Kalimat
maupun kelompok kata yang menjadi unsur kalimat dapat di pandang sebagai suatu
konstruksi. Satuan-satuan yang membentuk suatu konstruksi disebut konstituen
konstruksi tersebut.
B. Aplikasi
Konstruksi Sintaksis dalam Pendidikan Karakter
Dalam
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Karakter
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen
(stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pendidikan
karakter dalam konstruksi sintaksis bisa kita aplikasikan. seorang guru dapat
memanfaatkan dalam proses belajar mengajar materi kalimat atau sintaksis.
Misalnya dalam menulis kalimat kita harus memperhatikan pilihan kata-kata yang
sesuai dan menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD) yang secara tidak
langsung dapat melatih ketelitian peserta didik.
Tujuan
pendidikan karakter untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan
akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar
kompetensi lulusan.
Keberhasilan program
pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta
didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan, yang antara lain
meliputi sebagai berikut:
1. Mengamalkan ajaran
agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2. Memahami
kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap
percaya diri;
4. Mematuhi
aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai
keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup
nasional;
6. Mencari dan
menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara
logis, kritis, dan kreatif;
7. Menunjukkan
kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan
kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9. Menunjukkan
kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10. Mendeskripsikan
gejala alam dan sosial;
11. Memanfaatkan
lingkungan secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan
nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya
seni dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas
pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup
bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16. Berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan
kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya
perbedaan pendapat;
18. Menunjukkan
kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris sederhana;
20. Menguasai
pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21. Memiliki jiwa
kewirausahaan.
Pada
tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya
budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat
sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
Dewasa
ini, para orang tua semakin mempertanyakan jika tidak boleh dikatakan menggugat
“ada apa dengan pendidikan kita”? Mereka gelisah melihat perilaku anak-anak
mereka tadinya merupakan anak manis yang bersahaja, santun, tekun, dan disiplin,
tiba-tiba begitu memasuki usia remaja mereka berubah menjadi “liar”. Pertahanan
diri secara internal begitu rapuh, sedikit ada godaan langsung “kepincut”. Kosa
kata indah seperti : mohon maaf”, terimakasih, permisi, makin menjauh
dari perbendaharaan kata mereka sehari-hari. Tidak hanya itu, bahkan kosa kata
yang dilontarkan oleh orang-orang dewasa dalam menyatakan pendapat mereka yang
berbeda, juga jauh dari tatakrama.
Kenyataan
tersebut dan ditambah dengan apa yang kita simak melalui media massa mengajak
kita untuk merenungkan apa yang terjadi. Dalam ketenangan, tiba-tiba kita
disentakkan oleh kabar kebrutalan sekelompok massa. Kemanakah bangsaku yang
selama ini terkenal ramah?, jawara dalam berdiplomasi dan bermusyawarah
untuk mencapai mufakat?. Tata krama,sopan santun, etika seakan menjadi
formalitas saja yang hanya muncul dalam situasi formal saja. Frans Magnis
Suseno dalam Sarasehan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa di Jakarta pada
awal tahun lalu menyatakan bahwa: “Secara tradisional, kalau kita ketemu muka, kita
masih menemukan sopan santun, dan etika, tetapi begitu berada di luar konteks
tradisional, mereka lalu dapat menjadi keras secara massal, tidak bertanggung
jawab, brutal dan kejam, melakukan hal-hal yang kemudian mereka sendiri merasa
malu” (Suseno: 2010).
Terkait
dengan hal tersebut, kebijakan pemerintah tentang Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) memberikan ruang untuk itu, secara operasional penyusunan
KTSP mengacu pada: (1) Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia; (2) Peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan
peserta didik; (3) Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan;
(4) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (5) Tuntutan dunia kerja; (6)
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; Agama; (6) Dinamika
perkembangan global; (7) Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan; (8)
Kondisi sosial budaya masyarakat setempat; (9) Kesetaraan Jender; (10)
Karakteristik satuan pendidikan.
Roh
atau jiwa kurikulum itu harus diterjemahkan dalam silabus dan rencana
pembelajaran, serta direalisasikan pada praktik pembelajaran. Silabus sebagai
perencanaan pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema
tertentu mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi
pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi
untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Prinsip
pengembangan silabus adalah: Ilmiah,
Relevan, Sistematis, Konsisten, Memadai, Aktual dan Kontekstual, Fleksibel,
Menyeluruh.
Keberhasilan
pendidikan karakter juga ditentukan oleh peran serta guru. Salah satu hal yang
harus menjadi perhatian para pendidik adalah, bertutur kata dengan baik dan
benar. Bahasa yang dilontarkan guru harus bermuatan kebajikan dan
kalimat-kalimat positif.
Bahasa
kebajikan merupakan salah satu bagian dalam pendidikan karakter yang tidak
hanya membentuk siswa agar baik secara akademis tetapi juga berperilaku.
Misalnya memberi pengakuan kepada siswa, seperti mengucapkan terima kasih
karena telah datang tepat waktu.
Guru
harus bisa memberikan apresiasi kepada siswa ketika dia berbuat sesuatu yang
benar. Akan tetapi, bahasa yang disampaikan juga harus bijak dan tepat. Kalimat-kalimat
positif juga harus dilontarkan guru ketika memberikan peringatan terhadap
siswanya. Maksudnya, kata yang digunakan harus kata yang tidak mengandung makna
negatif.
Hasil
dari pendidikan karakter juga tidak bisa dilihat dalam waktu singkat. Tetapi,
hal-hal positif yang ditanamkan sejak dini akan terekam oleh anak sehingga
membawanya menjadi pribadi yang baik saat beranjak remaja atau dewasa.
C. Simpulan
Sintaksis adalah salah satu
cabang dari tata bahasa, dan tata bahasa itu merupakan salah satu cabang dari
linguistik. Tata bahasa terdiri dari morfologi dan sintaksis. Sintaksis adalah
salah satu cabang linguistik yang mempelajari seluk beluk struktur kalimat.
Sintaksis mempelajari tata hubungan kata dengan kata lain dalam membentuk
struktur yang lebih besar, yaitu frasa, klausa dan kalimat.
Aplikasi yang didapat dari
pembelajaran konstruksi sintaksis misalnya dalam membuat kalimat siswa diharuskan
memperhatikan EYD itu dapat membuat siswa menjadi lebih teliti dan disiplin juga
dalam menyusun kata-kata baik dalam berbicara maupun menulis siswa diajarkan
memperhatikan kata-kata yang sopan agar terbiasa dalam bersopan santun.
Keberhasilan pendidikan karakter juga ditentukan oleh peran serta guru. Salah
satu hal yang harus menjadi perhatian para pendidik adalah, bertutur kata
dengan baik dan benar. Bahasa yang dilontarkan guru harus bermuatan kebajikan
dan kalimat-kalimat positif. Guru harus
bisa memberikan apresiasi kepada siswa ketika dia berbuat sesuatu yang benar.
Akan tetapi, bahasa yang disampaikan juga harus bijak dan tepat. Kalimat-kalimat
positif juga harus dilontarkan guru ketika memberikan peringatan terhadap
siswanya. Maksudnya, kata yang digunakan harus kata yang tidak mengandung makna
negatif.
D. Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Noortyani, Rusma. 2007. Modul Sintaksis Bahasa Indonesia.
Banjarmasin.