A. Latar
Historis
Seperti yang
diketahui dalam perkembangan sejarah filsafat Barat, bahwa antara abad ke-18
akhir dan awal abad ke-20, di Barat (khususnya di Eropa) terdapat dua aliran
besar yang mendominasi pemikiran kefilsafatan pada waktu itu, yaitu filsafat
idealisme dan filsafat empirisme.
Di dalam karyanya A Defense Of Common Sense (1924), G.E Moore
mengatakan bahwa dari sinilah terjadi sebagian besar pertentangan antara sekian
banyak filosof dengan akal sehat. Manakala seorang filosof berbenturan dengan
akal sehat maka ia memepertahankan diri dengan jalan melarikan diri ke dalam
dunia gelap. Akal sehat. Akal sehat, kata Moore, lebih dipercaya daripada filsafat gelap.
B. Atomisme
Logis Russel
Atomisme logis merupakan
slah satu teori yang ada dalam liran filsafat analitik. istilah ini dinisbatkan
kepada dua filosof Anglo- Saxon, yaitu Bertrand Russel (1872-1972) dan Ludwig
Wittgenstein (1899-1951). Bertrand Russell adalah seorang sarjana yang lahir
dari lingkungan Universitas Cambridge Inggris. ia banyak menulis tentang
berbagai persoalan, dianataranya filsafat, politik, pendidkan, sejarah dan
agama. Arah filsafatnya berbeda dengan yang dilakukan oleh sahabt dekatnya G.E
Moore. Sedangkan Wittgenstein adalah seorang filosof asal Wina Austria yang
merupakan sahabat sekaligus murid Russell yang sangat cemerlang.
Kita
dapat membedakan tiga ungkapan, yaitu ungkapan yang bersifat tautologi,
ungkapan yang dapat diverifikasi, dan ungkapan yang tidak mengandung makna.
Salah satu konsekuensi dari penerapan verifikasi pada teknis analisa bahasa
adalah ketidakmampuannya menjelaskan peristiwa-peristiwa lampau dalam bahasa
sejarah. Menurut penganut paham empirisme, proposi analitik ialah yang
didefinisikan sebagai proposisi-proposisi yang benar dengan jalan membuat
definisi. Sedangkan proposisi sintetis ialah proposisi yang didefinisikan
sebagai kalimat yang berdasarkan fakta. Para penganut empirisme radikal
menganbil kesimpulan banyak diantara pertentangan paham dalam metafisika
sebenarnya sama sekali tidak mengenai hal-hal yang faktual. Untuk membedakan
proposisi sintetik dan proposisi analitik, A.J. Ayer telah memberikan batasan
mengenai proposisi analitik, seperti telah disinggung tentang nilai
kebenarannya bergantung kepada susunan istilah-istilah yang dipakai, juga
bersifat apriori dan tautologi.
C. Wittgenstein I : Meaning is Picture
Meaning is Picture
, makna adalah gambar, merupakan salah stu teori yang ada dalam aliran filsafat
analitik.
Wittgenstein mengatakan bahwa salah satu fungsi filsafat
adalah menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan (atau dipikirkan) dengan
menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan. Karena itu sebuah karya
filsafat harus mengandung penjelasan.
D. Positivisme
Logis
Istilah
positivisme mereujuk pada
pengertian-pengertian empirisme ilmiah, neopositivisme, dan empirisme logis.
Akan tetapi lebih lazim disebut denga sebutan “neopositivisme atau positivisme logis”.
Terdapat lima
asumi yang dijadikan dasar pijakan bagi konstruksi positivisme logis.
Kelima asumsi itu adalah realitas objektif, reduksionisme, asumsi bebas nilai,
determinisme, dan logiko-empirisme.
E. Wittegenstein
II: Meaning is Use
Ungkapan
heraklitus (544-484 SM) seorang filosof Yunani sebelum Aristoteles adalah semua
yang ada di dunia ini senantiasa berubah. Perubahan adalah abadi sepanjang
masa. Yang berubah itu bukan hanya alam, tapi juga pikiran manusia. Kasus ini
seperti yang terjadi pada Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dalam periode
sebelum tahun 1930 Wittgenstein berpijak pada atomisme logis Russell dan
neopositivisme dari Lingkaran Wina. Selanjutnya pada periode Tractatus,
Wittgenstein berpendapat bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang
mempunyai arti (meaning is picture). Namun dalam periode Philosophical
Investigations (Wittgenstein II), ia menentang terhadap apa yang telah
diuraikan dalam tractus itu. Ia berpendapat bahwa arti suatu pernyataan sangat
bergantung pada pemakaian jenis bahasa tertentu, meaning is use. Hal ini karena
bahasa memiliki banyak fungsi. Kemudian,
salah satu temuan Wittgentein II yang sangat menggoncangkan dunia filsafat
adalah apa yang dinamakan “Language Games” atau tata permainan bahasa. Gagasan
ini muncul tidak secara langsung akan tetapi pada saat Ia menonton pertandingan
sepak bola, menurutnya tidak hanya sepak bola yang merupakan permainan. Inti
gagasan dari “language games” adalah bahwa suatu jenis bahasa tertentu terdiri
dari kata-kata dan tata aturan pemakainnya.
Dengan menggunakan bahasa kita bermain
dengan bermacam-macam permainan. Karena dalam sebuah permainan ada aturan,maka
dalam permainan bahasa pun ada aturannya. Kita sering menemukan penggunaan
kata-kata dalam kehidupan sehari-hari yang mengandung banayak arti. Satu kata
bisa dipakai dalam berbagai fungsi. Dalam permainan bahasa, meskipun ditemukan
ada kemiripan dalam bentuk, atau ungkapan dipergunakan dalam kondisi yang
berbeda tapi bukan berarti mengandung makna yang sama. Dengan “language games”
Wittgenstein hendak menunjukkan tentang kesalahan dan sekaligus kelemahan dari
bahasa filsafat yang telah dipraktikkanoleh banyak filosof. Tugas filsafat,
menurut Wittgenstein, sebaiknya tidak menerangkan apa-apa. Filsafat juga tidak
dapat memberikan pendasaran pada pemakaian bahasa. Bahasa itu dapat menipu
dunia. Oleh karenanya analisis bahasa sangat diperlukan untuk mengetahui apakah
memang benar suatu kata dipergunakan sebagaimana mestinya. Ada tiga hal yang di
tunjukkan Wittngestein mengenai kelemahan bahasa yang digunakan dalam filsafat,
yaitu 1) tidak memperhatikan aturan permainan bahasa 2) adanya kecenderungan
mencari sesuatu yang umum 3) sering melakukan penyamaran pengertian.
Wittegenstein
berpendapat bahwa arti suatu penyataan sangat bergantung pada pemakaian jenis
bahasa tertentu, meaning is use.
Karena bahasa memiliki banyak fungsi.
Menurut Wittegenstein
bahasa mempunyai bermacam-macam penggunaan dan kita perlu menyelediki bagaimana
kata-kata kunci dan ekspresi-ekspresi berfungsi dalam bahasa. Dalam penggunaan bahasa
sehari-hari, yakni bahasa dan logika.
F. Aliran
Oxford: Ordinary Language Philosophy
Setelah
Perang Dunia Kedua filsafat analitik mengalami perkembangan pesat, tidak hanya
diminati oleh kalangan akademis dari Cambridge, tetapi juga dari kalangan akademisi
Oxford. Oxford menjadi pusat filsafat analitik, hingga merambah sampai Amerika
Serikat. Kalangan akademis Oxford ini adalah para pengikut Wittgenstein II yang
membentuk aliran baru dalam filsafat analitik yaitu aliran yang dikenal dengan
sebutan “Ordinary Language Philosophy” dan orientasi kajian filsafatnya adalah
bahasa biasa. Kelompok Oxford menggunakan metode Wittgenstein untuk menyelidiki
macam-macam jenis bahasa. Ciri umum dari filsafat analitik yang berpusat di
Oxford ada tiga, yaitu: 1) tentang bagaimana cara kata-kata dipakai 2) berusaha
mengasalkan pemakaian bahasa kepada satu cara saja 3) beranggapan bahwa hanya
dengan melukiskan pemakian bahasa secara mendetail banyak persoalan filosof
dapat dipecahkan. Inti pemikiran kefilsafatan Filsafat Analitik periode ini,
yaitu : 1) Category mistake, kekeliruan mengenai kategori 2) Tasks Verb dan
Achivement Verb, kata kerja yang mengacu kepada suatu pekerjaan atau suatu
tujuan yang ingin dicapai 3) Ucapan Konstatif dan Ucapan Performatif dari John
Langshaw Austin (1991-1960) 4) Speech acts (tindakan-tindakan bahasa) 5)
Descriptive Metaphysics, menurut Peter Strawson 6) Konsep “ refering to an
object” (merujuk pada suatu objek)
Inti pemikiran
kefilsafatan filsafat analitik periode ini, yang membedakannya dengan periode
sebelumnya.
1.
Category
mistake, yitu kekeliruan mengenai kategori.
2.
Task
verb dan achivement verb
3.
Ucapan
konstatif dan ucapan perfomatif
4.
Speech
acts atau tindakan bahasa
G. Epistemologi
Filsafat Analitik
Gerakan
Filsafat Analitik memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
teori pengetahuan. Hal ini bukan karena filsafat analitik lahir dan berkembang
dalam lingkungan empirisme, tapi juga karena tokoh-tokoh yang mengembangkan
aliran ini kebanyakkan para saintis modern yang berlatar belakang pendidikan
sains ynag tinggi. Menurut Moore bahasa yang bermakna adalah bahasa yang bisa
mengungkapkan pengetahuan yang benar dengan ukuran common sense dan dapat
dibuktikan kebenarannya secara empiris. Berbeda dengan Russell, Ia tidak menempuh
jalan common sense dari G.E Moore di dalam menentukan pengetahuan yang benar.
Menurutnya pengetahuan yang bersifat logis akan meyakinkan kita akan hal-hal
yang bersifat Universal. Teori pengetahuan Russel ialah seluruh pengetahuan
yang diungkapkan dalam bentuk bahasa logika melalui suatu teknik analisa yang
benar. Menurut Russel benar atau salahnya suatu pengetahuan sangat bergantung
pada benar atau tidaknya fakta yang dikandung oleh pengetahuan itu. Baginya,
pengetahuan didefinisikan sebagai suatu sub kelas dari kepercayaan yang
benar. Doktrin tradisional memiliki
empat kelemahan yaitu : 1) tidak memberikan suatu definisi yang sungguh-sungguh
tentang pengetahuan 2) sangat sulit untuk mengatakan apakah yang merupakan
fakta persepsi 3) deduksi telah berubah menjadi agak lemah dibandingkan dengan
apa yang dianngap semula 4) metode-metode penarikan kesimpulan yang mungkin
disebut dalam suatu pengertian yang luas sebagai “induktif”.
Ada tiga cara dalam mendefinisikan
“pengetahuan” yaitu yang pertama, dengan menitikberatkan pada konsep tentang
bukti yang pasti. Kedua, dengan cara melenyapakan perbedaan antara premis dari
kesimpulan, dan menyatakan bahwa pengetahuan merupakan kepercayaan yang seluruhnya
bersifat koheren. Ketiga, dengan meninggalkan sama sekali konsep tentang
“pengetahuan” dan menggantikannya dengan kepercayaan-kepercayaan yang mendorong
sukses. Dalam perkembangan filsafat analitik selanjutnya, para tokoh dari
aliran ini, terutama yang secara langsung mendapat pengaruh dari Wittgenstein
II; mereka berpaling dari cara berpikir Moore, Russel dan para penganut
positivisme logis. Bagi mereka, realitas itu tidaklah satu, melainkan jamak
tergantung pada pengunaan bahasa yang digunakan.