Jumat, 07 Oktober 2011

Filsafat dan Bahasa dalam Filsafat Analitik


A. Latar Historis
Seperti yang diketahui dalam perkembangan sejarah filsafat Barat, bahwa antara abad ke-18 akhir dan awal abad ke-20, di Barat (khususnya di Eropa) terdapat dua aliran besar yang mendominasi pemikiran kefilsafatan pada waktu itu, yaitu filsafat idealisme dan filsafat empirisme.
Di dalam karyanya A Defense Of Common Sense (1924), G.E Moore mengatakan bahwa dari sinilah terjadi sebagian besar pertentangan antara sekian banyak filosof dengan akal sehat. Manakala seorang filosof berbenturan dengan akal sehat maka ia memepertahankan diri dengan jalan melarikan diri ke dalam dunia gelap. Akal sehat. Akal sehat, kata Moore,  lebih dipercaya daripada filsafat gelap.

B. Atomisme Logis Russel
Atomisme logis merupakan slah satu teori yang ada dalam liran filsafat analitik. istilah ini dinisbatkan kepada dua filosof Anglo- Saxon, yaitu Bertrand Russel (1872-1972) dan Ludwig Wittgenstein (1899-1951). Bertrand Russell adalah seorang sarjana yang lahir dari lingkungan Universitas Cambridge Inggris. ia banyak menulis tentang berbagai persoalan, dianataranya filsafat, politik, pendidkan, sejarah dan agama. Arah filsafatnya berbeda dengan yang dilakukan oleh sahabt dekatnya G.E Moore. Sedangkan Wittgenstein adalah seorang filosof asal Wina Austria yang merupakan sahabat sekaligus murid Russell yang sangat cemerlang.
Kita dapat membedakan tiga ungkapan, yaitu ungkapan yang bersifat tautologi, ungkapan yang dapat diverifikasi, dan ungkapan yang tidak mengandung makna. Salah satu konsekuensi dari penerapan verifikasi pada teknis analisa bahasa adalah ketidakmampuannya menjelaskan peristiwa-peristiwa lampau dalam bahasa sejarah. Menurut penganut paham empirisme, proposi analitik ialah yang didefinisikan sebagai proposisi-proposisi yang benar dengan jalan membuat definisi. Sedangkan proposisi sintetis ialah proposisi yang didefinisikan sebagai kalimat yang berdasarkan fakta. Para penganut empirisme radikal menganbil kesimpulan banyak diantara pertentangan paham dalam metafisika sebenarnya sama sekali tidak mengenai hal-hal yang faktual. Untuk membedakan proposisi sintetik dan proposisi analitik, A.J. Ayer telah memberikan batasan mengenai proposisi analitik, seperti telah disinggung tentang nilai kebenarannya bergantung kepada susunan istilah-istilah yang dipakai, juga bersifat apriori dan tautologi.


C.   Wittgenstein I : Meaning is Picture
Meaning is Picture , makna adalah gambar, merupakan salah stu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik.
Wittgenstein  mengatakan bahwa salah satu fungsi filsafat adalah menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan (atau dipikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan. Karena itu sebuah karya filsafat harus mengandung penjelasan.

D. Positivisme Logis
Istilah positivisme  mereujuk pada pengertian-pengertian empirisme ilmiah, neopositivisme, dan empirisme logis. Akan tetapi lebih lazim disebut denga sebutan “neopositivisme atau positivisme  logis”.
Terdapat lima asumi yang dijadikan  dasar  pijakan bagi konstruksi positivisme logis. Kelima asumsi itu adalah realitas objektif, reduksionisme, asumsi bebas nilai, determinisme, dan logiko-empirisme.

E.  Wittegenstein II: Meaning is Use
Ungkapan heraklitus (544-484 SM) seorang filosof Yunani sebelum Aristoteles adalah semua yang ada di dunia ini senantiasa berubah. Perubahan adalah abadi sepanjang masa. Yang berubah itu bukan hanya alam, tapi juga pikiran manusia. Kasus ini seperti yang terjadi pada Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dalam periode sebelum tahun 1930 Wittgenstein berpijak pada atomisme logis Russell dan neopositivisme dari Lingkaran Wina. Selanjutnya pada periode Tractatus, Wittgenstein berpendapat bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang mempunyai arti (meaning is picture). Namun dalam periode Philosophical Investigations (Wittgenstein II), ia menentang terhadap apa yang telah diuraikan dalam tractus itu. Ia berpendapat bahwa arti suatu pernyataan sangat bergantung pada pemakaian jenis bahasa tertentu, meaning is use. Hal ini karena bahasa memiliki banyak  fungsi. Kemudian, salah satu temuan Wittgentein II yang sangat menggoncangkan dunia filsafat adalah apa yang dinamakan “Language Games” atau tata permainan bahasa. Gagasan ini muncul tidak secara langsung akan tetapi pada saat Ia menonton pertandingan sepak bola, menurutnya tidak hanya sepak bola yang merupakan permainan. Inti gagasan dari “language games” adalah bahwa suatu jenis bahasa tertentu terdiri dari kata-kata dan tata aturan pemakainnya.
          Dengan menggunakan bahasa kita bermain dengan bermacam-macam permainan. Karena dalam sebuah permainan ada aturan,maka dalam permainan bahasa pun ada aturannya. Kita sering menemukan penggunaan kata-kata dalam kehidupan sehari-hari yang mengandung banayak arti. Satu kata bisa dipakai dalam berbagai fungsi. Dalam permainan bahasa, meskipun ditemukan ada kemiripan dalam bentuk, atau ungkapan dipergunakan dalam kondisi yang berbeda tapi bukan berarti mengandung makna yang sama. Dengan “language games” Wittgenstein hendak menunjukkan tentang kesalahan dan sekaligus kelemahan dari bahasa filsafat yang telah dipraktikkanoleh banyak filosof. Tugas filsafat, menurut Wittgenstein, sebaiknya tidak menerangkan apa-apa. Filsafat juga tidak dapat memberikan pendasaran pada pemakaian bahasa. Bahasa itu dapat menipu dunia. Oleh karenanya analisis bahasa sangat diperlukan untuk mengetahui apakah memang benar suatu kata dipergunakan sebagaimana mestinya. Ada tiga hal yang di tunjukkan Wittngestein mengenai kelemahan bahasa yang digunakan dalam filsafat, yaitu 1) tidak memperhatikan aturan permainan bahasa 2) adanya kecenderungan mencari sesuatu yang umum 3) sering melakukan penyamaran pengertian.
Wittegenstein berpendapat bahwa arti suatu penyataan sangat bergantung pada pemakaian jenis bahasa tertentu, meaning is use. Karena bahasa memiliki banyak fungsi.
Menurut Wittegenstein bahasa mempunyai bermacam-macam penggunaan dan kita perlu menyelediki bagaimana kata-kata kunci dan ekspresi-ekspresi berfungsi dalam bahasa. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, yakni bahasa dan logika.


F.  Aliran Oxford: Ordinary Language Philosophy
Setelah Perang Dunia Kedua filsafat analitik mengalami perkembangan pesat, tidak hanya diminati oleh kalangan akademis dari Cambridge, tetapi juga dari kalangan akademisi Oxford. Oxford menjadi pusat filsafat analitik, hingga merambah sampai Amerika Serikat. Kalangan akademis Oxford ini adalah para pengikut Wittgenstein II yang membentuk aliran baru dalam filsafat analitik yaitu aliran yang dikenal dengan sebutan “Ordinary Language Philosophy” dan orientasi kajian filsafatnya adalah bahasa biasa. Kelompok Oxford menggunakan metode Wittgenstein untuk menyelidiki macam-macam jenis bahasa. Ciri umum dari filsafat analitik yang berpusat di Oxford ada tiga, yaitu: 1) tentang bagaimana cara kata-kata dipakai 2) berusaha mengasalkan pemakaian bahasa kepada satu cara saja 3) beranggapan bahwa hanya dengan melukiskan pemakian bahasa secara mendetail banyak persoalan filosof dapat dipecahkan. Inti pemikiran kefilsafatan Filsafat Analitik periode ini, yaitu : 1) Category mistake, kekeliruan mengenai kategori 2) Tasks Verb dan Achivement Verb, kata kerja yang mengacu kepada suatu pekerjaan atau suatu tujuan yang ingin dicapai 3) Ucapan Konstatif dan Ucapan Performatif dari John Langshaw Austin (1991-1960) 4) Speech acts (tindakan-tindakan bahasa) 5) Descriptive Metaphysics, menurut Peter Strawson 6) Konsep “ refering to an object” (merujuk pada suatu objek)

Inti pemikiran kefilsafatan filsafat analitik periode ini, yang membedakannya dengan periode sebelumnya.
1.    Category mistake, yitu kekeliruan mengenai kategori.
2.    Task verb dan achivement verb
3.    Ucapan konstatif dan ucapan perfomatif
4.   Speech acts atau tindakan bahasa


G.  Epistemologi Filsafat Analitik
Gerakan Filsafat Analitik memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan teori pengetahuan. Hal ini bukan karena filsafat analitik lahir dan berkembang dalam lingkungan empirisme, tapi juga karena tokoh-tokoh yang mengembangkan aliran ini kebanyakkan para saintis modern yang berlatar belakang pendidikan sains ynag tinggi. Menurut Moore bahasa yang bermakna adalah bahasa yang bisa mengungkapkan pengetahuan yang benar dengan ukuran common sense dan dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Berbeda dengan Russell, Ia tidak menempuh jalan common sense dari G.E Moore di dalam menentukan pengetahuan yang benar. Menurutnya pengetahuan yang bersifat logis akan meyakinkan kita akan hal-hal yang bersifat Universal. Teori pengetahuan Russel ialah seluruh pengetahuan yang diungkapkan dalam bentuk bahasa logika melalui suatu teknik analisa yang benar. Menurut Russel benar atau salahnya suatu pengetahuan sangat bergantung pada benar atau tidaknya fakta yang dikandung oleh pengetahuan itu. Baginya, pengetahuan didefinisikan sebagai suatu sub kelas dari kepercayaan yang benar.    Doktrin tradisional memiliki empat kelemahan yaitu : 1) tidak memberikan suatu definisi yang sungguh-sungguh tentang pengetahuan 2) sangat sulit untuk mengatakan apakah yang merupakan fakta persepsi 3) deduksi telah berubah menjadi agak lemah dibandingkan dengan apa yang dianngap semula 4) metode-metode penarikan kesimpulan yang mungkin disebut dalam suatu pengertian yang luas sebagai “induktif”.
          Ada tiga cara dalam mendefinisikan “pengetahuan” yaitu yang pertama, dengan menitikberatkan pada konsep tentang bukti yang pasti. Kedua, dengan cara melenyapakan perbedaan antara premis dari kesimpulan, dan menyatakan bahwa pengetahuan merupakan kepercayaan yang seluruhnya bersifat koheren. Ketiga, dengan meninggalkan sama sekali konsep tentang “pengetahuan” dan menggantikannya dengan kepercayaan-kepercayaan yang mendorong sukses. Dalam perkembangan filsafat analitik selanjutnya, para tokoh dari aliran ini, terutama yang secara langsung mendapat pengaruh dari Wittgenstein II; mereka berpaling dari cara berpikir Moore, Russel dan para penganut positivisme logis. Bagi mereka, realitas itu tidaklah satu, melainkan jamak tergantung pada pengunaan bahasa yang digunakan.

FILSAFAT BAHASA


Filsafat dan Bahasa dalam Strukturalisme

A. Pengertian dan Latar Historis
Strukturalisme dapat didefinisikan sebagai juga sebagai salah satu cara pandang yang menekankan pada persepsi dan deskripsi tentang struktur yang mencakup keutuhan, transformasi, dan deskiripsi tentang struktur yang mencakup keutuhan, transformasi, dan pengaturan diri.
Dalam sejarah kelahirannya, strukturalisme lazim dihubungkan dengan gerakan filsafat Perancis dalam tahun enam puluhan, yaitu suatu gerakan filsafat yang sangat menggoncangkan fenomenologi eksistensialis.
Pada awalnya strukturalisme hanya dikenal sebagai metode linguistik, yaitu pada linguistik Sausurian. Dalam perkembangan selanjutnya, strukturalisme merambah ke berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Beberapa tokoh penting dari strukturalisme yang layak disebutkan, ialah Ferdinand de Saussure (1857-1913), Levistrauss (1949), Michel Foucault (lahir 1926), Jacques Lacan(lahir 1901), Louis Althusser(lahir 1918), Noam Chomsky(lahir 1926) dari Amerika Serikat, Roland Barthes, Jacques Derrida, Jakobson, dan Julia Kristeva. Tiga orang terakhir yang disebutkan terakhir, dikategorikan juga sebagai tokoh-tokoh peletak posstrukturalisme dalam sastra dan para pendukung posmodernisme.

B. Saussurian: Bahasa Sebagai Suatu Sistem

Ferdinand Morgin de Saussure (1857-1913) adalah peletak dasar metode strukturalis dalam bidang linguistik. Ia lahir di Jenewa pada 26 November 1857 dari pemeluk taat
Protestan Perancis yang beremigrasi dari wilayah Lorraine ketika terjadi perang agama pada akhir abad ke-16.
Ferdinand Morgin de Saussure mengajukan  suatu pebedaan antara langue (bahasa) dan parole (ucapan).

C.  Levi- Strauss: Bahasa dan Budaya
Claude Levi Strauss dilahirkan di Brussel, Belgia, pada tahun 1908 dari orang tua keturunan Yahudi yang berkebangsaan Perancis.
Claude Levi Strauss meyakini bahwa analisis kebudayaan (bahkan analisis kehidupan sosial, termasuk seni dan agama). Dapat dilaksanakan dengan menggunakan analisis bahasa model. Bukan hanya itu, menurut Levi-Strauss, sifat paling hakiki tentang aspek-aspek kebudayaan sama dengan sifat-sifat bahasa.
D. Jacques Lacan: Bahasa Kesadaran dan ketidaksadaran.
Jacques Lacan adalah salah seorang strukturalis yang telah menerapkan analisis linguistik bagi psikoanalisa.
Jacques lacan adalah salah seorang pengikut freudian. Akan tetapi dalam beberapa hal ia keluar dari cara yang ditempuh freud. Ia berusaha memberikan suatu interpretasi baru mengenai psikoanalisis freud dalam persfektif strukturalis.
Menurut lacan, ketidaksadaran ialah dari poercakapan transindividual yang hilang dalam disposisi subjek sehingga dia tidak sanggup mempertahankan kontinuitas dari percakapan yang sadar. Sedangkan subjek terbagi ke dalam dua yaitu subjek yang bicara dan subjek gramatikal.

E.  Noam Chomsky: bahasa gramatikal
Noam Chomsky lahir 1928 di Philadelpia, USA, ia mengajar di Massachussetts Institute of Technology. Ia terkenal karena temuaan mengenai transformational grammar dan  generative grammar (tata bahasa transformational grammar generative), suatu temuan baru dibidang linguistik yang cukup mencengangkan semua pihak. Teori ini mencari jalan lain dari strukturalisme Ferdinand de Saussure.
Beberapa distingsi yang menjelaskan pikiran  filosofis  dan linguistik dari Noam Chomsky adalah competence, perfomence, deep structure dan surface structure ditambah denga istilah lainnya yaitu generative dan grammar.



F.  Pengaruh Strukturalisme Terhadap Sastra
Menurut para tokoh formallisme, seni hanyalah alat Bahasa sastra yang sangat ditentukan oleh seni. Dalam pandangan mereka sifat bahasa sastra tibul dengan menyusun dan mengubah bahannya yang bersifat netral. Dalam hal puisi bahan itu ialah bahasa “biasa” (praktis), dalam hal cerita bahan itu ialah riwayat yang disajikan. Cara- cara pengolahan karya sastra puitik ialah metrum, ritme, macam-macam bentuk paralelisme dan pertentangan, gaya bahasa dan kiyasan (metafora).
Menurut Mukarovsky artefact harus memiliki suatu nilai atau sifat universal tertentu yang menyebabkan para pembaca dari berbagai zaman selalu mengkonkretkannya. Menurutnya nilai universal terjadi tidak karena artefact menunjukkan kepada fakta sejarah, melainkan pada hakikat pokok dalam pengalaman manusia yang tidak terikat kepada salah satu kurun waktu tertentu.
Metafora bersifat hubungan paradigmatis, sedangkan metominia bersifat sintagmatis. Keduanya mendasari proses pembentukan tanda-tanda bahasa atas seleksi dan kombinasi. Atas dasar itu ia memberikan definisi tentang fungsi puitis bahasa sebagai fungsi untuk memanfaatkan seleksi dan kombinasi untuk meningkatkan ekuivalensi. Para filsafat analitik, bahasa diyakini dapat menggambarkan kenyataan dunia, karena proposisi atomik (unsur terkecil bahasa) merupakan gambaran fakta atomik tentang dunia.

G.  Strukturalisme Dan Semiotika
Istilah “semiotika” diambil dari kata “semion” (Yunani) yang artinya tanda. Selain kata semiotika digunakan pula kata semiologi(istilah yang digunakan Saussure), yaitu ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang,sistem lambang dan proses perlambangan. Ilmu-ilmu bahasa ada di dalamny. Terhadap ilmu ini strukturalisme telah memberikan dasar-dasar bangunan yang kokoh.
Menurut pierce ada tiga factor yang menentukan adanya sebuah tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si penerima.
Menuurut Saussure untuk membuat orang mengerti hakikat semiologi, dan untuk menyajikan secara memadai, langue (bahasa) perlu dikaji secara mendalam. Tugas utama dari semiologi atau semiotika menurut Saussure adalah menyelidiki  masalah langue sebagai suatu sistem tanda dan hukum apa saja yang mengaturnya. Saussure berpendapat bahwa tanda tidak hanya ada dalam bahasa yang biasa kita pahami, tetapi juga terdapat tanda-tanda yang menyebar disekitar kita. Hal merupakan tugas utama dari semiologi.
Dalam menjelaskan semiologis busana yang dipakai, Barthes meminjam penjelasan dari Trobetskoy tentang perbedaan klasik antara langue dan parole. Menurut Barthes, langue pakaian terbentuk dari oposisi potongan-potongan busana, satuan-satuan atau unsur-unsur yang rinci, yang variasinya menimbulkan perubahan makna (mamakai topi atau pet), tidak mengandung makna yang sama. Sedangkan parole pakaian, kata Barthes, adalah mencakup semua fakta produksi yang tidak mengikuti aturan, atau cara berpakain yang individual (ukuran baju, tingkat kebersihan, keusangan, kebiasaan pribadi, kombinasi busana yang bebas). Disini ada suatu elektika, yaitu yang menghubungkan tata busana (langue) dan pemakaian busana (parole), tidak sama dengan hubungan yang ada dalam langage. Pemakaian  busana selalu mengambil sumbernya pada tata busana, kecuali dalam kasus pakaian yang eksentris.